kriwil

aldiantoro nugroho on random stuff
Thu 31 March 2005

Sebutir Pasir, Apalah Artinya?

Oleh : Asro Kamal Rokan

Ya Allah, betapa sulit kami menafsirkan apa yang terjadi terhadap bangsa ini. Belum lagi kering air mata kami, belum lagi kering luka-luka di tubuh kami, belum lagi semua kabar dapat kami sampaikan, belum lagi ibu-ibu bertemu dengan anaknya yang hilang. Dinding rumah yang roboh, belum dapat kami rapikan. Daun dari pohon-pohon yang kami tanam di pusara, sudah pula menguning karena belum sempat kami sirami.

Ya Allah, kami tak berani bertanya apa-apa tentang bencana demi bencana yang menimpa bangsa ini. Kami tak berani menyimpulkan ini murka-Mu, karena kami tahu betul Kau Maha Pengasih dan Maha Penyayang --hanya kami selalu lupa berterima kasih, lupa pada jalan kembali, lupa menyebarkan kasih dan sayang yang sesungguhnya telah Kau limpahkan kepada kami.

Malam belum begitu larut, pukul 23.10. Anak-anak mulai lelap setelah ibu-ibu mereka mungkin saja usai bercerita tentang dongeng masa lalu --bumi ini ibarat telur di atas tanduk kerbau atau cerita tentang kedurhakaan Malin Kundang, Si Mardan, mungkin juga cerita tentang kesombongan Si Malin Pandai Besi, cerita rakyat Sumatra Utara-- tiba-tiba guncangan kuat merobohkan atap rumah dan dinding-dinding kemudian rebah. Ratusan orang terjepit antara tanah dan bebatuan. Ada yang minta tolong, namun tak sedikit yang belum sempat berkata-kata, diam, dan pergi selamanya.

Gempa berkekuatan 8,7 pada Skala Richter --digolongkan sebagai 10 gempa terbesar abad ini-- menyebabkan ratusan orang tewas di Nias, Sumatra Utara, dan Pulau Simeulue, Nanggroe Aceh Darussalam (NAD). Ribuan warga yang tadinya di rumah, menonton televisi atau bercanda, langsung berhamburan keluar. Orang-orang berteriak dan mencari tempat berlindung.

Bayangan tsunami --yang tiga bulan lalu melanda daerah ini, yang menewaskan ratusan ribu orang-- muncul dengan cepat dan menjadi sangat menakutkan. Mereka lari ke gunung-gunung berjarak tiga sampai empat kilometer. Mereka menerobos malam yang pekat dan menggigil kedinginan. Ya Allah, kami ini sebutir pasir di atas batu besar. Tidak berdaya, tidak berarti apa-apa. Sebutir pasir, apalah artinya dalam kekuasaan-Mu yang Mahabesar. Jangankan guncangan hebat, angin tipis pun telah cukup melempar kami jauh dan terpelanting. Tapi, kadang-kadang kami merasa diri seperti batu besar itu --menindih dan melindas. Kami merasa sangat kuat dan dapat berbuat apa saja, padahal apalah artinya sebutir pasir dalam genggaman kekuasaan-Mu Yang Mahabesar? Tidak ada, tidak berarti apa-apa.

Bencana demi bencana --yang seakan tanpa henti mendera bangsa ini-- kami pahami sebagai ujian, bukan murka. Sebagai ujian, kami tak hendak berada di banyak persimpangan jalan, menebak-nebak mana arah yang benar. Kami tak hendak lagi ragu, karena keyakinan bukanlah tebak-tebakan tapi kepastian. Kami berupaya sekuat daya untuk memenangkan ujian ini, meski sangat tidak mudah. Tapi, jika tetap berpegang kuat pada tali-Mu, pastilah kami lolos dari ujian ini dan mendapatkan jalan yang terang benderang.

Ya Allah, kami ini sebutir pasir di atas batu sangat besar. Jangankan guncangan dahsyat, angin tipis pun dapat membuat kami terpelanting, hilang, dan dilupakan. Jangan biarkan kami terpelanting dan hilang.

diambil dari http://www.republika.co.id/kolom.asp?kat_id=19

If you have any comment, mention me @kriwil.